Jumat, 06 Agustus 2010

Bab II Amrullah Ahmad (Hidayat)

BAB II

SISTEM DAN UNSUR-UNSUR DAKWAH

A. Pengertian Sistem Dakwah

Berbicara mengenai sistem dakwah, terlebih dahulu perlu dijelaskan pengertian sistem. Menurut Nasarudin dikutip oleh Moh. Ali Aziz, dalam Ilmu Dakwah sistem (system) menurut arti logat adalah suatu kelompok unsur-unsur yang saling berhubungan membentuk suatu kesatuan kolektif. Maksud sistem adalah suatu rangkaian kegiatan yang sumbang menyumbang saling berkait menjelmakan urutan yang logis dan tetap terikat pada ikatan hubungan pada kegiatan masing-masing dan rangkaian secara menyeluruh.

Sementara itu, Iskandar Wiryakusumo mendefinisikan sistem sebagai suatu organisasi dari kumpulan komponen yang berhubungan suatu sama lain.[1] Dengan demikian sistem ini akan menjadi suatu alat yang penting untuk mengontrol transfer prinsip-prinsip dari bidang kebidang lainnya.[2]

Dari pengertian sistem di atas jika dikaitkan dengan sistem islam dan sistem dakwah islam adalah merupakan ajaran yang bersumber dari wahyu ilahi yang antara isi-isi wahyu itu sangat terkait dengan satu lainnya. Demikian hadits sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an. Kalau kita membagi isi pokok ajaran islam menjadi keimanan syari’ah dan muamalah, maka ketiganya itu merupakan satu kesatuan yang utuh.[3]

Sistem dakwah terbentuk dari beberapa subsistem yang merupakan komponen-kkomponen yang lebih kecil dan merupakan bagian dari sistem dakwah. Beberapa subsistem yang merupakan bagian dari sistem dakwah tersebut tidak lain adalah unsur-unsur dakwah itu sendiri, yaitu da’i (subjek dakwah) mad’u (mitra dakwah), maddah (materi dakwah), wasilah (media), metode (thariqah) dan atsar (efek dakwah). Keseluruhan dari subsistem-subsistem dakwah ini merupakan satu kesatuan yang sangat terkait satu dengan lainnya.[4]

Dengan menggunakan analisa sistem dakwah masalah-masalah dakwah yang kompleks dapat dirumuskan, proses dakwah dapat diketahui alurnya, hasil-hasil dakwah dapat diukur dan dianalisa, umpan balik kegiatan dakwah dapat dinilai dan fungsi dakwah terhadap sistem kemasyarakatan (lingkungan) dapat diketahui dan dianalisa. Demikian juga dampak perubahan dari sistem politik terhadap sistem dakwah dapat diidentifikasi secara jelas. Oleh karena itu, metode ini sangat tepat sekali untuk pengembangan konsep dan teori dakwah dalam rangka pengembangan keilmuan dakwah. Sedangkan secara praktis metode ini sangat bermanfaat bagi perumusan kebijakan dan program dakwah Islam[5].


B. Pengertian Dakwah

Ditinjau secara etimologi atau bahasa, kata dakwah berasal dari bahasa Arab, yaitu da’â-yad’û-da’watan, artinya memanggil, mengajak dan menyeru.[6]

Warson Munawir, menyebutkan bahwa dakwah artinya adalah memanggil (to call), mengundang (to invinite), mengajak (to summon), menyeru (to propose), mendorong (to, urge), dan memohon (to pray).[7]

Dakwah dalam pengertian tersebut dapat dijumpai dalam ayat-ayat al-Qur’an, yang artinya antara lain: dalam QS. Surat Yusuf : 33, Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih Aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka kepadaku... dan dalam QS. Surat Yunus : 25, Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam)[8].

Secara garis besar menurut Amrullah Ahmad pola pemikiran dakwah yang selama ini hidup ada dua. Pertama, bahwa dakwah diberi pengertian tabligh/penyiaran/penerangan agama. Kedua, bahwa dakwah diberi pengertian semua usaha untuk merealisir ajaran Islam dalam semua segi kehidupan manusia[9].

Menurut Jumu’ah Amin Abdul Aziz dalam bukunya Fiqh Dakwah, diantara makna dakwah secara bahasa adalah sebagai berikut.

1. An-Nida, artinya memanggil, da’â Fulan ilâ Fulanah

2. Ad-da’â ilâ Syai’i, artinya menyeru dan mendorong pada sesuatu.

3. Ad-dakwah Ilâ Qadhiyah, artinya menegaskannya atau membelanya, baik yang haq ataupun yang batil, yang positif maupun yang negatif.

Dakwah adalah mengajak, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain untuk berbuat baik sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta meninggalkan perbuatan tercela (yang dilarang) oleh Allah dan Rasul-Nya[10].

Menurut Abdul Basit, kata dakwah dalam al-Qur’an yang akar kata terdiri dari dal, ‘ain, dan wawu memiliki berbagai ragam bentuk dan maknanya. Ada 198 kali al-Qur’an menyebutkan kata dakwah dan ramifikasinya tersebar dalam 55 surat (176 ayat), jumlah kata dakwah dan ramifikasinya disebutkan dalam al-Qur’an lebih banyak dari jumlah ayat yang memuatnya. Ada 18 ayat yang muatan kata dakwah di dalamnya lebih dari satu kata dakwah, dan ada 2 ayat yang masing-masing memuat sebuah kata dakwah. Akan tetapi, kedua kata tersebut masing-masing memiliki dua arti sekaligus. Sementara itu, makna kata dakwah dan ramifikasinya ada yang berhubungan secara vertikal (do’a dan penyembuh) dan ada yang berhubungan secara horizontal (seruan, panggilan, ajakan, permintaan, harapan, undangan, dan lain-lain)[11].

Sementara itu menurut Muhammad Fuad Abdul Baqi, kata dakwah dalam al-Qur’an dan kata-kata yang berbentuk darinya tidak kurang dari 213 kali[12].

Definisi mengenai dakwah telah banyak dibuat oleh para ahli, dimana masing-masing definisi tersebut saling melengkapi. Walaupun berbeda susunan redaksinya, namun maksud dan makna hakikatnya sama.

Di bawah ini akan penulis kemukakan beberapa definisi dakwah yang dikemukakan para ahli mengenai dakwah.

Kata dakwah juga diartikan sebagai seruan atau ajakan kepada keinsyafan atau usaha mengubah situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat[13].

Dalam stigma masyarakat kita, kata dakwah identik dengan istilah agama Islam. Maka dari itu, tidak heran jika ada kalangan pemikir yang mendefinisikan kata dakwah dan menggandengkannya dengan kata Islam. Ahmad Syafi’i Ma’arif sebagaimana oleh Munzier Suparta dan Harjani Hefni. Mendefinisikan dakwah Islam sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memancing dan mengharapkan potensi fitri manusia agar eksistensi mereka punya makna di hadapan Tuhan dan sejarah. Beliau menegaskan bahwa tugas dakwah adalah tugas umat secara keseluruhan bukannya hanya tugas kelompok tertentu dari umat Islam[14].

Sementara itu, Toto Tasmara dalam bukunya Komunikasi Dakwah, menyebutkan istilah dakwah sama dengan tabligh, merupakan suatu proses penyampai pesan-pesan tertentu yang berupa ajakan atau seruan dengan tujuan agar orang lain mengikuti ajakan tersebut[15].

Dakwah merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk kejalan Allah secara bertahap menuju kehidupan yang Islami[16].

Menurut Toha Yahya Omar: Mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan, untuk keselamatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat[17].

Sementara itu, M. Natsir seperti yang dikutip oleh Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya Idiologi Gerakan Dakwah Episode Kehidupan M.Natsir dan Azhar Basyir, mengatakan bahwa dakwah adalah pemanggilan umat manusia di seluruh dunia ke jalan Allah dengan penuh petunjuk yang baik serta berdiskusi dengan mereka dengan cara yang sebaik-baiknya[18].

Lebih menarik lagi adalah pengertian dakwah menurut Amrullah Ahmad dalam buku Dakwah Islam dan Perubahan Sosial. Beliau mendefinisikan bahwa pada hakikatnya dakwah Islam merupakan aktualisasi imani (teologis) yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur, untuk mempengaruhi cara berfikir, bersikap, merasa, dan bertindak pada dataran kenyataan individual dan sosio kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dari semua segi kehidupan manusia dengan menggunakan cara tertentu[19].

Secara panjang lebar, Andy Darmawan, dkk. Dalam bukunya Metodologi Ilmu Dakwah:

“Dakwah adalah upaya memenggil kembali hati nurani (fitrah) untuk menghilangkan sifat-sifat buruk (hedonistik, materialistik, vitalistik, taghut, egois, malas, rakus, dengki, iri, pelit, dan sombong) dan menggantinya dengan sifat-sifat yang mulia yang dikehendaki oleh Islam seperti ilahiyyah, humanistik, rasionalistik, tunduk dan patuh kepada Allah SWT, adil, jujur, dermawan, rajin, cinta damai, cinta ilmu, bersih, suka menolong, peka terhadap masalah-masalah sosial, dimana sifat-sifat itu adalah sifat-sifat yang sesuai dengan nurani (fitrah) manusia”[20].

Dakwah Islam sebagai usaha kegiatan orang beriman dalam mewujudkan ajaran Islam dengan menggunakan sistem dan cara tertentu dalam kenyataan hidup perorangan (fardiyah), keluarga (usrah), kelompok (thaifah), masyarakat (mujtama’) dan Negara (daulah) merupakan kegiatan yang menajdi (instrumental) terbentuknya komunitas dan masyarakat muslim serta peradabannya. Tanpa adanya dakwah maka masyarakat muslim tidak dimungkinkan kebaradaanya. Dengan demikian, dakwah merupakan pergerakan yang berfungsi menstransformasikan Islam sebagai ajaran (doktrin) menjadi kenyataan tata masyarakat dan peradabannya yang mendasarkan pada pandangan dunia Islam merupakan faktor dinamik dalam mewujudkan masyarakat yang berkualitas khaira ummah dan daulah thayyibah[21].

Beberapa pengertian di atas hanyalah sebagian kecil yang mudah-mudahan dapat merepresentasikan tentang definisi dakwah. Meskipun sangat beragam bahasannya, namun penulis dapat menyimpulkan bahwa dakwah adalah sebuah proses atau kegiatan untuk menyeru, mengajak bisa juga diartikan dengan mengingatkan dan menyebarluaskan ajaran Islam kepada seluruh umat manusia demi kesalamatan dan kebahgiaan di dunia dan akhirat. Dakwah dilakukan secara sadar, sistematis, dan terarah oleh pelakunya, baik secara individual maupun kolektif.

Pemahaman-pemahanman definisi dakwah sebagaimana disebutkan di atas, meskipun terdapat perbedaan-perbedaan kalimat, namun sebenarnya tidaklah terdapat perbedaan prinsipil. Dari berbagai perumusan definisi di atas, kiranya bisa disimpulkan sebagai berikut :

a. Dakwah itu merupakan suatu aktivitas atau usaha yang dilakukan dengan sengaja atau sadar.

b. Usaha dakwah tersebut berupa ajakan kepada jalan Allah dengan al-ma’ruf an-nahyi al-munkar.

c. Usaha tersebut dimaksudkan untuk mencapai cita-cita dari dakwah itu sendiri yaitu menuju kebahagiaan manusia di dunia maupun di akhirat.

Dengan demikian, dakwah juga dapat diartikan sebagai proses penyampaian ajaran agama Islam kepada umat manusia. Sebagai suatu proses, dakwah tidak hanya merupakan usaha untuk mengubah way of thinking, way of feeling, dan way of life manusia sebagai sasaran dakwah kearah kualitas kehidupan yang lebih baik.

C. Unsur Dakwah

Dalam suatu aktivitas dakwah yang berupa ajakan, melahirkan suatu proses penyampaian, paling tidak terdapat bebrapa elemen yang harus ada. Elemen-elemen atau unsur-unsur dakwah tersebut adalah:

1. Subjek Dakwah

Subjek dakwah (da’i atau communicator). Subjek dakwah adalah pelaku dakwah. Faktor subjek dakwah sangat menentukan keberhasilan aktivitas dakwah. Maka subjek dakwah dalam hal ini da’i atau lembaga dakwah hendaklah mampu menjadi penggerak dakwah yang professional. Baik gerakan dakwah yang dilakukan oleh individual maupun kolektif, profesionalisme amat dibutuhkan, termasuk profesionalisme lembaga-lembaga dakwah.

Disamping professional, kesiapan subjek dakwah baik penguasaan terhadap materi, maupun terhadap metode, media dan psikologi sangat menentukan gerakan dakwah untuk mencapai keberhasilannya[22].

Tuntunan professional itu memang wajar dan sesuai dengan tuntutan modernitas yang menuntut agar setiap profesi bersifat fokus dan spesial. Namun demikian, tuntunan professionalitas dan spesialisasi juga dapat meninggalkan problema yang cukup serius. Problema itu adalah parsialitas.

Salah satu bagian dakwah adalah Khithabah yang merupakan bagian unsur dakwah, yang sering dilepaskan dari metode dakwah yang lainya, sehingga ia tidak menjadi bagian integral dari gerakan secara utuh.

Khithabah acap menyendiri sebagai teknik berdakwah yang melalui berkonsentrasi pada sosialisasi verbal. Ia lebih sering bersifat disconnected (terlepas dan terkait) dari sentuhan profesi dakwah lainnya. Bahkan, pada beberapa kasus, tak jarang pula khithabah justeru berbenturan dan mementahkan efektifitas gerakan dakwah lainnya.

Mestinya, seluruh profesi dakwah itu merupakan suatu gerakan terpadu yang satu sama lain terikat dan terkait dalam suatu jalinan interdependen. Ketika seorang da’i/mubaligh berceramah menyampaikan sebuah materi ajaran Islam, ia mesti pula memikirkan bagaimana agar materi tersebut bukan saja tidak berseberangan, melainkan juga mendukung gerakan dakwah lainnya. Demikian juga da’i lain yang sedang melakukan suatu aktivitas dakwah dengan metode lain, semestinyalah ia memikirkan keterkaitannya dengan metode dakwah lain yang sedang bergerak pada ruang dan waktu yang sama.

Dengan cara itu, tidak akan terjadi suatu kasus bahwa ceramah seorang mubaligh ternyata menyela atau bahkan merusak gerakan dakwah setempat, karena materi yang ia sampaikan ternyata mementahkan sektor dakwah lainnya. Kasus ini tidak akan terjadi jika khithabah tidak dipersepsi sebagai suatu gerakan dakwah yang terlepas dari profesi dakwah lainnya.[23].

2. Metode Dakwah

Metode dakwah (Kaifiyah Ad-da’wah, Methode). Metode dakwah yaitu cara-cara penyampaian dakwah, baik individu, kelompok, maupun masyarakat luas agar pesan-pesan dakwah tersebut mudah diterima. Penelitian/metode dakwah yang dikategorikan sebagai penelitian sosial dapat dikatakan sebagai kegiatan mencari tahu tentang sesuatu yang dipertanyakan yang tampak pada fenomena dakwah[24]. Kemudian metode dakwah hendaklah menggunakan metode tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisi mad’u sebagai penerima pesan-pesan dakwah. Sudah selayaknya penerapan metode dakwah mendapat perhatian yang serius dari para penyampai dakwah. Berbagai pendekatan dakwah baik dakwah bi al-lisan, dakwah bi al-qalam (dakwah melalui tulisan, media cetak), maupun dakwah bi al-hal (dakwah dengan amal nyata, keteladanan) perlu dimodifikasi sedemikian rupa sesuai dengan tuntunan modernitas. Demikian pula penggunaan metode dakwah dengan Hikmah, Mauidzah Hasanah, dan Mujadalah.

Aplikasi dakwah Islam tidak cukup mempergunakan metode tradisional saja, melainkan perlu diterapkan penggunaan metode yang sesuai dengan situasi dan kondisi zaman di era sekarang[25].

Dakwah Islam sebagai metode untuk mengenalkan ajaran Tuhan, yaitu merupakan agama yang memuliakan akal manusia. Al-Qur’an secara berulang-ulang memerintahkan manusia untuk melakukan observasi, eksperimen dan telaah ilmiah. Umat Islam diseru Tuhan agar berfikir dan merenung (termasuk memahami alam, sejarah dan masyarakat). Tujuannya adalah agar manusia dapat memperoleh pemahaman yang benar tentang sesuatu (baik hakikat alam, sejarah, filsafat kehidupan manusia, bahkan pada hakikat Tuhan)[26].

Oleh karena itu perlu dicari metode ilmiah yang tepat dan relevan, bahwa obyek studi menentukan metode, bukan sebaliknya metode yang menentukan objek. Sehingga agama sebagai fenomena kehidupan yang menyatakan diri dalam sistem sosial budaya, bukan masalah yang sulit untuk menentukan metode yang relevan bagi audien[27].

Prinsip-prinsip dakwah Islam tidaklah mewujudkan kekakuan, akan tetapi menunjukan fleksibilitas yang tinggi. Ajakan dakwah tidak mengharuskan cepatnya keberhasilan dengan satu metode saja, melainkan dapat menggunakan bermacam-macam cara yang sesuai dengan kondisi dan situasi mad’u sebagai objek dakwah dalam menentukan penggunaan metode dakwah amat berpengaruh bagi keberhasilan suatu aktivitas dakwah[28].

3. Media Dakwah

Media dakwah (Washilah Ad-da’wah, Media, Chanel). Media dakwah adalah alat untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah. Penggunaan media dakwah yang tepat akan menghasilkan dakwah yang efektif. Penggunaan media-media dan alat-alat modern bagi pengembang dakwah adalah suatu keharusan untuk mencapai efektifitas dakwah. Media-media yang dapat digunakan dalam aktivitas dakwah antara lain: media tradisional, media cetak, media broadcasting, media film, media audio visual, internet, maupun media elektronik lainnya.

Penggunaan media-media modern sudah selayaknya digunakan dalam aktivitas dakwah, agar dakwah dapat diterima oleh publik secara komprehensif.

4. Materi Dakwah

Materi dakwah (Madah Ad-Da’wah, Message). Materi dakwah adalah isi dari pesan-pesan dakwah Islam. Pesan atau materi dakwah harus disampaikan secara menarik tidak monoton sehingga merangsang objek dakwah untuk mengkaji tema-tema Islam yang pada gilirannya objek dakwah akan mengkaji lebih mendalam mengenai materi agama Islam dan meningkatkan kualitas pengetahuan keIslaman untuk pengalaman keagamaan objek dakwah.

Pesan-pesan dakwah harus dilakukan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi mad’u sebagai penerima dakwah. Pesan-pesan dakwah yang disampaikan sesuai dengan kondisi sasaran objek dakwah, akan dapat diterima dengan baik oleh mad’u. oleh karena itu, da’i hendaklah melihat kondisi objek dakwah dalam melakukan aktivitas dakwah agar pesannya tersebut bisa dianggap sesuai dengan karakter dan cara berfikir objek dakwah.

5. Objek Dakwah

Objek dakwah (Mad’u, Communicant, Audience). Objek dakwah yaitu masyarakat sebagai penerima dakwah. Masyarakat baik individu maupun kelompok, sebagai objek dakwah, memiliki strata dan tingkatan yang berbeda. Dalam hal ini seorang da’i dalam aktivitas dakwahnya hendaklah memahami karakter dan siapa yang akan diajak bicara atau siapa yang akan menerima pesan-pesan dakwahnya. Da’i dalam menyampaikan pesan-pesan dakwahnya, perlu mengatahui klasifikasi dan karakter objek dakwah, hal ini penting agar pesan-pesan dakwah bisa diterima dengan baik oleh mad’u.

Dengan mengetahui karakter dan kepribadian mad’u sebagai penerima dakwah, maka dakwah akan lebih terarah karena tidak disampaikan secara serampangan tetapi mengarah kepada profesioanalisme. Maka mad’u sebagai sasaran atau objek dakwah akan dengan mudah menerima pesan-pesan dakwah yang disampaikan oleh subjek dakwah, karena baik materi, metode, maupun media yang digunakan dalam berdakwah agar tetap sesuai dengan kondisi mad’u sebagai objek dakwah[29].

Memperhatikan kondisi obyektif umat dan masyarakat bangsa, pendekatan dakwah perlu diubah dari indoktrinasi menjadi dialog kreatif. Dakwah harus dikembangkan dalam usaha peningkatan ketrampilan kerja sehingga mampu memenuhi tuntutan kehidupan obyektif, dimana secara terprogram dan bertahap akan menuju idealitas kehidupan yang disampaing memenuhi tuntunan normatif Islam juga mampu menjawab tantangan sosiologis masyarakat modern[30].



[1] Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, … hal. 71.

[2] Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, … hal. 72.

[3] Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, … hal. 72.

[4] Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, … hal. 73.

[5] Amrullah Ahmad, Konstruksi Keilmuan Dakwah, Makalah… hal. 43.

[6] Abdul Basit, Pemikiran Abu al-A’la al Maududi Tentang Dakwah Islam, Tesis (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah), 2000. hal. 44.

[7] Warson Munawir, Kamus Al-Munawir, (Surabaya: Mitra Pustaka), 1994. hal. 439.

[8] Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah,... hal. 1

[9] Amrullah Ahmad, (Ed)., Dakwah Islam ... hal: 7.

[10] Slamet. M.A., Prinsip-Prinsip Metodologi Dakwah, (Surabaya: Al-Ikhlas),1994. hal. 29-30.

[11] Abdul Basit, Dakwah Antar Individu Teori ,... hal. 10.

[12] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jam Al-Muffahras li Alfazh al-Qur’an, (Cairo: Dar Al-Kutub Al-‘Arabiyyah). hal. 120, 692-693.

[13] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan),1994. hal. 194.

[14] Munzier dan Harjani Hefni Suparta, Metode Dakwah, (Jakrta: Prenada Media), 2003. hal. 6.

[15] Tasmara Toto, Komuniksi Dakwah, (Jakarta: Gaya Pratama Pustaka Setia), 1997. hal. 31.

[16] Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani Pers), 1998. hal. 77.

[17] Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah…, hal. 1-2.

[18] Abdul Munir Mulkhan, Idiologisasi Gerakan Dakwah Episode Kehidupan M. Natsir dan Azhar Basyir, (Yogyakarta: Sipress), 1996. hal. 52.

[19] Amrullah Ahmad, (Ed)., Dakwah Islam dan Perubahan Sosial …, hal. 2.

[20] Dermawan Andy, dkk., Metodologi Ilmu Dakwah, (Yogyakarta: LESFI), 2002. hal. 26-27.

[21] Amrullah, Ahmad, “Konstruksi Keilmuan Dakwah, Makalah, … hal. 1.

[22] Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah…, hal. 13

[23] Aep Kusnawan, Komunikasi dan Penyiaran Islam, (Bandung: Benang Merah Press), 2004. hal. 15-16.

[24] Asep Saeful Muhtadi dan Agus Ahmad Safei, Metode Penelitian Dakwah. (Jakarta: Pustaka Pelajar), 1999. hal. 45.

[25] Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah…, hal. 13

[26] Suwito NS., Transformasi Sosial (Kajian Epistimologi Ali Syari’ati Tentang Pemikiran Islam Modern), (Yogyakrta: STAIN Purwokerto Press Bekerjasama dengan Unggun Religi), 2004. hal. 238.

[27] M. Mansyur, dkk., Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: TH-Press), 2007. hal. 52.

[28] Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah…, hal. 97.

[29] Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah…, hal. 13-15

[30] Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kebudayaan dan Demokrasi Modernitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 1995. hal. 27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar