Jumat, 06 Agustus 2010

Bab V Amrullah Ahmad (Hidayat)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah mengkaji, meneliti dan menganalisis, pada bab ini penyusun akan memberikan kesimpulan tentang hasil penelitian yang dilakukan. Kesimpulan ini diberikan sebagai jawaban atas permasalahan yang penyusun rumuskan pada bab II (sistem dakwah).

Kemudian penulis melakukan penelitian terhadap pemikiran Amrullah Ahmad mengenai Dakwah Islam maka terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan.

Dakwah Islam sebagai suatu sistem memiliki masukan utama (raw input) berupa materi pokok dakwah dari wahyu Allah (al-Qur’an) dan as-Sunnah.

Bahwa dakwah Islam Amrullah Ahmad mengacu pada dakwah Nabi Muhammad Saw. Sistem dakwah Nabi Saw disistematisasikan oleh Amrullah Ahmad dengan menggunakan pendekatan teori sistem yaitu ada masukan utama berupa (raw input), masukan sarana (instrumental input) dan masukan lingkungan (environmental input). Masukan utama terdiri dari materi dakwah (al-Qur’an dan as-Sunnah dan hasil Ijtihad) dan manusia baik mengenai da’i maupun sebagai mad’u (masyarakat). Masukan sarana terdiri dari metode, peta (informasi), dana dan fasilitas dakwah. Masukan lingkungan terdiri dari masalah masyarakat (mad’u).

Kedua Proses (konversi),merupakan proses interdepedensi, dalam rangka mencapai tujuan dakwah, proses konversi mengubah input menjadi output di dalam dakwah seperti tabligh (penyiaran Islam), ta’dib (bimbingan) membimbing perorangan, membimbing keluarga, membimbing masyarakat.

Ketiga Output, merupakan hasil proses konversi dakwah berupa realitas Islam dalam kehidupan prbadi, keluarga, jama’ah, masyarakat dan Negara.

Keempat balikan (feedback), Subsistem balikan terdiri dari informasi yang menjadi masukan beru (berupa peta masalah dan hasil-hasil), sikap mad’u terhadap dakwah yang mencakup dukungan, hambatan dan sikap netral terhadap dakwah.

Dakwah Islam adalah usaha orang beriman mewujudkan Islam kedalam semua aspek kehidupan manusia baik dalam kehidupan pribadi (fardiyah), keluarga (usrah), kelompok (jam’ah), masyarakat (mujtama’) maupun Negara (daulah) dengan sistem yang berlandaskan pada tujuan dakwah. Hakekatnya tujuan dakwah adalah mengenalkan Allah SWT, lewat beribadah kepada-Nya serta manjauhkan taghut sehingga manusia dapat kembali fitrahnya, sadar fungsi hakikinya sebagai khalifah-Nya dengan menjalankan dan menegakan syari’at-Nya. Keberhasilan dakwah yang mendatangkan perubahan masyarakat yang signifikan adalah dakwah yang dijalankan dalam sebuah sistem yang subsistem konversinya berfungsi secara maksimal dalam mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output). Proses konversi dalam sistem dakwah yang mendatangkan perubahan signifikan adalah yang ditopang oleh kepemimpinan yang kuat yang visioner berorientasi pada tujuan dan perubahan lingkungan masyarakat (mad'u). Sistem dakwah Islam berjalan tepat guna ketika masukan sarana berupa metode, peta, dana dan fasilitas dakwah tersedia secara memadai. Pemilihan dan penerapan metode yang tidak tepat dalam melakukan proses transformasi Islam dapat melahirkan tatanan masyarakat berpandangan ganda disatu pihak menyatakan beriman kepada Allah tetapi menolak menerapkan syari'ah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Momentum berkembangnya dakwah Islam adalah karena adanya keluaran (output) berupa negara yang menjadikan syari'ah sebagai otoritas tertinggi dalam menilai dan mengatur kehidupan masyarakat dan negara.

B. Saran-saran

Sebelum mengakhiri tulisan ini, penulis mengajukan beberapa rekomendasi yang berupa saran-saran kepada para pembaca atau terhadap semua orang yang memiliki komitmen terhadap pemikiran dakwah Islam di Indonesia, khususnya terkait penelitian penulis terhadap pemikiran Amrullah Ahmad, saran-saran yang penulis rekomendasikan merupakan keluhan atau bahkan anjuran yang hendaknya dijadikan informasi awal untuk melakukan refleksi terhadap persoalan-persoalan dakwah Islam yang terjadi agar melahirkan sebuah hasil penelitian yang relatif lebih baik dan sempurna. Saran-saran yang penulis rekomendasikan adalah sebagai berikut:

1. Bagi para pembaca yang ingin mengkaji dan meneliti lebih jauh pemikiran Amrullah Ahmad, penulis menyarankan untuk memperoleh karya-karya Amrullah Ahmad yang lain, agar bisa mendapatkan lebih banyak informasi tentang pemikiran Amrullah Ahmad, karena karya-karyanya sangat jarang di temui di toko-toko buku di tempat peneliti berada.

2. Bagi para pengambil kebijakan khususnya dalam dakwah Islam, penulis memberi masukan agar lebih dalam lagi dalam merumuskan suatu kebijakan, agar dalam pelaksanaan proses dakwah dapat berjalan dengan baik dan pada akhirnya dakwah Islam tidak kehilangan arah dan tujuannya, yaitu terbentuknya manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang bertanggung jawab.

3. Bagi para aktivis Islam, baik di pergerakan, LSM, akademisi, maupun para da’i hendaknya selalu mengadakan dialog-dialog guna meningkatkan ketajaman analisis terhadap studi keIslaman khususnya wacana-wacana yang digagas oleh Amrullah Ahmad. Supaya adanya basis keilmuan dakwah yang baik untuk menciptakan dialog yang mencerahkan.

4. Pada pihak keluarga, dakwah yang sesungguhnya adalah dakwah di dalam lingkungan keluarga, oleh karena itu, hendaknya orang tua selalu menciptakan suasana atau kondisi yang edukatif dalam membimbing keluarga dan hendaknya memberikan tauladan yang baik pada putra-putrinya.

C. Kata Penutup

Al-hamd li Allah, Puji Tuhan seru sekalian alam, Tuhan bagi seluruh manusia, Tuhan bagi penghuni bumi, Tuhan bagi penghuni langit, Tuhan bagi seluruh alam semesta. Atas pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Semoga upaya dan ikhtiyar yang telah penulis lakukan menjadi keridlaan dan amal shalih yang bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, Amin.

Tidak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih dan permohonan maaf yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini. Khususnya kepada dosen pembimbing, Bapak Abdul Basit, yang telah ikhlas hati memberikan banyak bimbingan, motivasi, dan masukan yang sangat berarti bagi penulis. Dan tak lupa penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak instansi MUI Pusat Jakarta yang telah mengijinkan penulis untuk melakukan penelitian.

Demikian yang dapat penulis paparkan dalam penelitian ini, meski masih sangat jauh dari sempurna, tetapi penulis berharap semoga penelitian kecil ini dapat menjadi berkah bagi penulis maupun bagi para pembaca, amin... teriring salam dan doa semoga kita semua senantiasa mendapatkan ridla Allah SWT serta tetap pada jalan iman dan Islam. Wa Allah a’lam bi al-Sawwāb.

Penulis

Hidayaturrochman

NIM. 052 612 009

Bab IV Amrullah Ahmad (Hidayat)

BAB IV

SISTEM DAKWAH ISLAM MENURUT AMRULLAH AHMAD

Untuk menganalisa keadaan dakwah Islam yang permasalahannya sudah semakin kompleks di tengah-tengah perubahan sosial, diperlukan suatu kerangka analisa makro untuk menjembatani kesenjangan antara pemikiran dengan realitas dakwah. Pendekatan ini berangkat dari anggapan dasar bahwa dakwah Islam merupakan suatu sistem usaha merealisasikan ajaran Islam pada semua dataran kenyataan hidup manusia. Dalam pendekatan ini digunakan teori umum sistem yang bersifat analitis, yaitu mengadakan konstruksi intelektual yang tersusun dari aspek-aspek relitas dakwah Islam. Pada umumnya sistem terdiri dari lima komponen dasar yaitu input (masukan), convertion (proses pengubahan), out put (keluaran), feed back (umpan balik) dan environment (lingkungan)[1]. Kemudian akan diuraikan di bawah ini.

A. Pengertian Sistem Dakwah Islam Menurut Amrullah Ahmad

Istilah dakwah” berasal dari kata arab da’wah, merupakan bentuk masdar dari kata kerja da’a (madly), yad’u (mudlari). Berarti seruan, ajakan atau panggilan.

Sedang pencantuman “Islam” setelah kata “dakwah” dimaksudkan untuk mempertegas kata dan kandungan misi dakwah.[2] Karena di dalam al-Qur’an ada dakwah ilannar dan dakwah ilaljannah. Untuk membedakan makna dakwah secara umum, maka ditambah menjadi dakwah “Islam”[3], dan mempertegas kata dan kandungan misi “dakwah”.[4]

Dalam pengertian etimologi, dakwah merupakan istilah yang ‘am (general) meliputi dakwah mengajak ke jalan ke neraka (kebathilan dan kedhaliman) dan mengajak ke sorga (Kebenaran dan Keadilan) sebagaimana terungkap dalam al-Qur'an. Dalam kerangka etimologi, maka dakwah Islam menjadi bermakna "khash (parsial)". Akan tetapi berdasarkan hakikat fitri manusia adalah mengenal dan mengakui Allah sebagai satu-satunya Illah (Tuhan). Hakikat fungsi manusia adalah khalifatullah fil ardhi dan hakikat tujuan hidup adalah beribadah kepada-Nya dan untuk memperoleh ridha-Nya atas semua kegiatan (amal) selama di dunia. Maka dakwah Islam secara terminologi memiliki makna universal (‘am) yang menunjuk setiap kegiatan yang mengajak manusia untuk kembali kepada fitri. Universalitas dakwah Islam ini juga didukung konsep Islam bahwa penciptaan alam oleh Allah adalah untuk kebutuhan mewujudkan nilai-nilai Kebenaran, Kebaikan dan Keadilan sejalan dengan maksud diciptakannya manusia sebagai khalifah-Nya.

Secara istilah (terminologi) pengertian dakwah adalah "kegiatan seorang atau sekelompok orang mukmin dalam mengajak ummat manusia supaya masuk ke dalam jalan Allah (sistem Islam) secara menyeluruh (kaffah) baik dengan lisan dan tulisan maupun dengan perbuatan sebagai ikhtiar muslim mewujudkan ajaran Islam menjadi kenyataan dalam kehidupan syakhsiyah, usrah, jama'ah dan ummat dalam semua segi kehidupan secara berjama'ah (terorganisir) sehingga terwujud masyarakat yang berkualitas khairul ummah" dan baldah thayyibah warabbun ghafuur untuk mencapai kehidupan Muslim dan Dunia Muslim yang sejati berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah”.[5]

Dari pengertian dakwah tersebut, maka dakwah dilaksanakan secara berjama'ah (terorganisir) diindikasikan oleh al-Qur'an dan Sunnah sebagai syarat tegaknya ikhtiar realisasi Islam, amar ma'ruf dan nahi munkar. Karena itu aspek organisasional dan manajerial merupakan bagian tak terpisahkan dengan hakikat dakwah Islam. Tujuan akhir dakwah Islam adalah terwujudnya khairul ummah yang basis-nya didukung oleh muslim yang berkualitas khairul bariyyah yang oleh Allah dijanjikan akan memperoleh ridla Allah[6].

Dakwah Islam adalah suatu sistem yang terdiri dari beberapa subsistem yang saling berhubungan, bergantung dan berinteraksi dalam mencapai tujuan dakwah. Subsistem yang dimaksud meliputi: masukan (input), proses (konversi), keluaran (output), dan balikan (feedback). Masukan terdiri dari masukan utama (raw input), masukan sarana (instrumental input) dan masukan lingkungan (environmental input).

Masukan utama terdiri dari materi dakwah (al-Qur'an, as-Sunnah dan hasil ijtihad) dan manusia baik sebagai da'i maupun sebagai mad'u (masyarakat). Masukan sarana terdiri dari metode, peta (informasi), dana dan fasilitas dakwah. Masukan lingkungan terdiri dari berbagai masalah masyarakat (mad'u) yang terdiri dari masalah yang telah terstruktur yang perlu dibenahi dengan jalan dakwah maupun masalah baru berupa sikap mad'u terhadap dakwah Islam baik dalam bentuk masalah dan tekanan kultural maupun struktural. Subsistem proses (konversi) terdiri dari kepastian tujuan dan sasaran dakwah yang hendak dicapai yang dilaksanakan dengan qiyadah, tabligh, ta'dib, hijrah, amar ma'ruf nahyi munkar dan jihad (qital).

Bentuk-bentuk aktivitas proses (konversi) ini berjalan secara simultan dan bertahap yang kesemuanya terikat pada tujuan dan sasaran yang hendak dicapai. Subsistem keluaran (output) adalah hasil proses (konversi) dakwah berupa realitas Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, jama'ah, masyarakat dan negara. Subsistem balikan (feedback) terdiri dari informasi yang menjadi masukan baru (berupa peta masalah dan hasil-hasil), sikap mad'u terhadap dakwah yang mencakup dukungan, hambatan dan sikap netral terhadap dakwah. Sedangkan lingkungan (environment) adalah mad'u dengan segala kondisinya yang hendak dipengaruhi dan diubah dengan jalan dakwah maupun berupa pengaruh dan tekanan mad'u terhadap dakwah baik secara kultural maupun struktural. Oleh karena itu, apabila ada subsistem dalam sistem dakwah yang menghadapi dan mengalami permasalahan tidak bisa diselesaian hanya secara parsial, tetapi mengharuskan peninjauan dan solusi secara komprehensip dengan berorientasi pada tujuan dan dipandu Al Qur'an dan as-Sunnah serta ilmu pengetahuan (hasil-hasil ijtihad).[7]

Sesuai dengan tujuannya, dakwah Islam merupakan aktualisasi imani (teologis) yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berfikir, bersikap dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosio-kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan menggunakan cara tertentu[8].

Dakwah merupakan suatu sistem yang antar suatu bagian yang lain saling berhubungan saling interdependensi, dalam rangka mencapai tujuan dakwah, tujuan tertentu, artinya ada komponen-komponen yang wajib ada di dalam dakwah sehingga dakwah itu bisa menjadi tujuan.

Di dalam komponen-komponen dakwah menurut Amrullah Ahmad itu melihat hubungan yang awal yaitu, masukan. Menurut beliau (sistem bicara masukan), kemudian yang kedua yang disebut dengan konversi (perubahan) yang ketiga pengeluaran (out put dari sistem itu apa?). Sebab kalau tidak dengan cara seperti ini kita kita tidak bisa mengukur kualitas input atau masukannya kualitas prosesnya. Kualitas out putnya kita selalu berfikir abstrak tentang dakwah Islam ini, oleh karena itu di dalam penulisan Beliau, tulisan-tulisan dakwah disana Beliau menjelaskan secara detail bahwa di dalam masukan terdiri dari masukan utama, masukan instrument dan masukan lingkungan, itu masalah-masalah yang muncul dari lingkungan dimana dakwah diselenggarakan dan masukan-masukan ini diproses sedemikian rupa di dalam konversi di dalam konversi kuncinya adalah kemungkinan. Karena bukti kemungkinan ini adalah dimana mengubah input menjadi out put.

Hal diubah pada proses konversi di antaranya yang Pertama, tabligh (penyiaran Islam); kedua, ta’dib (bimbingan) yakni membimbing perorangan, keluarga, dan masyarakat. Ketiga, adalah kiadah (kepemimpinan), keempat usrah kelima amar ma’ruf nahi munkar, dan keenam jihad fisabilillah.[9]

B. Landasan Dalam Membangun Sistem Dakwah

Menurut Amrullah Ahmad Landasan dalam membangun sistem dakwah itu ditentukan oleh tujuan. Kalau rumusan tujuan dakwah tidak pernah jelas maka tidak bisa dibangun sistem apapun, karena tidak ada tujuan jelas. Ini kan jelas tujuan dakwah. Yaitu Mewujudkan keluarga, pribadi muslim, jama’ah muslim dan Negara yang berdasarkan sariat Islam. Nama negaranya terserah, yang penting sariat Islam sebagai rujukan dasar di dalam kehidupan bernegara itu. Kalau itu belum tercapai itulah dakwah, itulah perjuangan untuk mencapai dakwah yang tadinya sepuluh persen menjadi dua puluh persen, dan sampai akhirnya seratus persen.

Hal itulah yang menjadi landasan dalam mewujudkan Islam dalam berbagai tatanan. Dari tujuan dakwah itu, maka tujuan dakwah itu menjadi way of life pribadi, way of life keluarga, way of life masyrakat, way of life Negara. Kemudian menjadi pedoman hidup bukan sekedar ecek-ecek.[10]

Pada sisi lain, dakwah sebagai aktivitas transformasi Islam kedalam realitas masyarakat, dewasa ini secara internal mengalami penurunan kualitas yang disebabkan hal-hal sebagai berikut : Pertama, bergesernya dakwah Islam dari fondasi dakwah yang telah dibangun oleh Nabi Muhammad Saw. Sudah menjadi kepastian apabila aktivitas dakwah bergeser dari asas dan fondasi itu, maka perjuangan dakwah menjadi lumpuh dan tidak lurus lagi, tidak akan membuahkan hasil sebagaimana yang dikehendaki sekalipun seluruh tenaga, waktu dan upaya telah habis tercurah. Hal ini terbukti telah menimpa kebanyakan aktivitas dakwah masa kini yang telah berdiri tidak diatas asas yang telah ditetapkan Allah SWT. Asas-asas dimana seharusnya dakwah ditegakkan sebagaimana telah ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan as-Sunnah. Perjalanan dakwah Rasulullah Saw merupakan qudwah sekaligus merupakan manhaj yang diikuti ummat Islam. Menurut Said Ibnu Ali Al-Qahthani barang siapa yang mengikuti sejarah Nabi Saw ia akan mendapatkan kepastian tentang pelaksanaan segala urusan dengan hikmah hususnya dalam berdakwah kepada Allah SWT. Kedua, menurunnya ghirah dakwah Islam sebagaimana dinyatakan oleh Muhammad Ghazali, bahwa pada masa kita sekarang telah terjadi penurunan semangat dan demoralisasi dalam dakwah. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan umat Islam kehilangan pamor dan keagungannya. Kekalahan umat Islam dewasa ini sesungguhnya identik dengan kekalahan dakwah itu sendiri. Ketiga, menurut Shaqr, karena hilangnya kekuasaan dunia, hilangnya semangat dan ketulusan dalam berdakwah dan keterbatasan wawasan dan metodologi yang dimiliki oleh para da’i. Keempat, sebagaimana diungkap oleh Amahzun karena gerakan dakwah Islam meninggalkan manhaj Islam yang sangat komprehensip untuk melakukan suatu perubahan dan mayoritas gerakan (dakwah) Islam tidak memiliki acuan program pembinaan yang terstruktur dan pemikiran ilmiah yang akurat untuk menghadapi tabiat perjuangan (dakwah) yang tengah dijalani.

Kelima, ketidaksesuaian pelaksanaan dakwah Islam saat ini dengan model dakwah Nabi Muhammad Saw lebih banyak disebabkan karena faktor kesalahan teoritis dan praktis sebagaimana dinyatakan Islahi. Kesalahan teoritis dan praktik dakwah ini terkait dengan langkanya teori-teori dakwah yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik untuk memberi arah kegiatan dakwah di masyarakat.

Disamping faktor-faktor internal tersebut, dakwah Islam dewasa ini menghadapi tantangan eksternal yang serius dari gerakan faham materialisme, liberalisme, sekularisme dan kapitalisme global serta gerakan lain, sosialisme-komunisme. Pemikiran dan ideologi gerakan ini telah masuk kedalam wilayah kehidupan ummat Islam dalam kehidupan pribadi (fardi), keluarga (usrah), kelompok (thaifah), masyarakat (mujtama') dan negara (daulah). Budaya eksternal kehidupan ummat Islam ini telah memberikan andil yang cukup besar dalam kedangkalan akidah, keengganan penerapan syari'ah dalam semua segi kehidupan dan merosotnya akhlak sebagian besar ummat Islam; serta melemahnya harakah dakwah Islam. Pada sisi lain sistem jahiliah modern semakin menguat membangun peradaban yang dekaden disertai secara terus menerus melakukan ghozw al-fikr dikalangan ummat Islam. Abdul Khalik menjelaskan tekanan eksternal terhadap dakwah Islam sangat kuat dan sistematis. Tujuan gerakan ini agar kehidupan ummat Islam menjadi sesuai dengan filsafat, ideologi dan sistem budaya, kemasyarakatan, kenegaraan dan peradaban mereka. Islam menjadi asing kembali bagi masyarakat Islam. Kondisi yang demikian digambarkan oleh Musthafa Masyhur, bahwa substansi masalah yang dihadapi dakwah masa kini dan masa Nabi Muhammad Saw adalah sama. Pada masa awal dakwah Nabi Muhammad Saw, Islam adalah asing bagi masyarakat Arab dan sistem jahiliah bergerak secara leluasa. Pada saat itu musuh-musuh dakwah dipimpin kalangan musyrikin di jazirah Arab, para penyembah api di negara Parsi (Iran) disebelah Timur dan kerajaan Romawi di sebelah Barat bersama dengan Yahudi. Pada saat ini Islam juga menjadi asing kembali pada sebagian besar masyarakat dunia. Sedangkan sistem jahiliah berjalan kokoh sebagaimana pada awal Islam. Saat ini para pendukung gerakan dakwah disiksa, ditindas, dikucilkan, dikepung, dicaci dan dituduh mengguncang tata sosial dan menimbulkan kerusakan dan perpecahan menurut para penguasa yang menerapkan sistem jahiliah baik di Barat maupun di Timur. Namun demikian pohon peradaban modern kini mulai goyang. Keberadaannya sama dengan keadaan menjelang bi'tsah Nabi Muhammad Saw yang kemudian berhasil membangun dan menyatukan peradaban umat manusia. Jika demikian, maka betapa besar kebutuhan manusia kepada risalah ini (risalah Islam) untuk sekali lagi membebaskan dan menyelamatkan manusia dari kehancuran.

Dari uraian yang mendahului, maka dakwah Islam sebagai satu faktor dominan dalam tersebarnya Risalah, mewujudkan dan perbaikan masyarakat Islam (ishlah al-mujtama' al-Islam) dewasa ini secara internal terpenjara oleh sistem dakwah yang sudah menyimpang jauh dari sistem dakwah Nabi Muhammad Saw. Hal ini karena dakwah Islam saat ini di sebagian besar kalangan masyarakat Islam telah jauh dari model (qudwah) dakwah Nabi Muhammad Saw baik dari segi pemahaman atas ajaran Islam maupun dalam perumusan masalah, penetapan tujuan, sasaran, metode, sarana, kebijakan, pemilihan program, pembiayaan, tahapan (marhalah) dan kualifikasi da'i dalam dakwah Islam. Sedangkan secara eksternal faktor maraknya ghozw al fikri dari faham materialisme, leberalisme, sekularisme dan kapitalisme global baik secara teoritis maupun praktis cukup efektif membelokan orientasi gerakan dakwah Islam dari asas-asas dasarnya. Oleh karena itu, untuk membangun kembali tatanan masyarakat Islam diperlukan sistem dakwah Islam yang merujuk pada dakwah Nabi Muhammad Saw yang tak lain merupakan Sunnah Allah dalam dakwah, yang telah terbukti dapat mewujudkan masyarakat berkualitas khaira ummah dan negara yang berkualitas thayyibah.

Masalahnya bahwa telaah sistem dakwah Nabi Muhammad Saw yang mencerminkan kesatuan subsistem dan bersifat komprehensip masih langka dikaji pemikir dakwah. Pola pemaparan di kalangan pemikir dakwah masih terjebak pada asumsi dasarnya yang tidak tepat bahwa dakwah identik dengan tabligh. Hal ini nampak pada pemikiran Karim Zaidan yang mengidentifikasi subsistem dakwah terdiri dari : obyek dakwah, juru dakwah (da’i), penerima dakwah (mad'u), metode (ushlub) dan media dakwah (wasilah). Karim Zaidan meskipun dalam urainnya menyajikan bahwa dakwah adalah kaffah, meliputi semua aspek kehidupan tetapi perspektif sistem dakwah yang diajukan : pertama, tidak cukup untuk menganalisis sifat menyeluruh dakwah Nabi Muhammad Saw yang antar subsistem saling terkait dan tergantung dalam mewujudkan tujuan dakwah; kedua, berpijak dari subsistem-subsistem itu tidak bisa untuk menjelaskan secara komprehensif mengapa dakwah Islam berhasil dan mengalami kegagalan. Hal ini disamping subsistem-subsistem yang disajikan mendasarkan pada asumsi dakwah identik dengan tabligh juga antar subsistem tidak jelas pola hubungannya sehingga proses mencapai tujuan menjadi tidak jelas.

Sistem dakwah Islam yang mendasarkan pada dakwah Nabi Muhammad Saw sangat diperlukan karena ada Sunnah Allah dalam dakwahnya yang berkarakteristik dasar :

1. Memiliki sistem (nidham) yang pijakan, tujuan, prinsip-prinsip, dasar-dasar, kebijakan, metode dan titik-titik perhatiannya berasal dari wahyu.

2. Komprehensif (meliputi semua hal) dan integral, yakni mencakup seluruh persoalan dakwah yang ada dalam subsistem sistem dakwah. Subsistem-subsistem sistem yang saling terkait antara satu dengan lainnya sehingga membentuk jalinan yang kokoh yang didalamnya bergerak dan saling berhubungan mengikuti Sunah Allah.

3. Sistem dakwah Nabi Muhammad Saw memberikan arahan kepada ummat penerus risalahnya bagaimana memberikan jawaban dan solusi atas masalah yang timbul di tengah-tengah masyarakat berdasarkan al-Qur’an dan Sunah Rasul.[11]

Menurut amrullah ahmad, landasan dalam mencapai tujuan dakwah dan tujuan penelitian ini hendaknya merumuskan sistem dakwah Islam dengan berpijak pada dakwah Nabi Muhammad SAW dengan pendekatan teori umum sistem. Sudah tentu refleksi dan abstraksi akan selalu menyertai upaya pencapaian tujuan dalam melaksanakan analisis atas informasi yang diperoleh. Dengan tercapainya tujuan ini diharapkan akan ditemukan bangunan dasar sistem dakwah Islam sebagai pijakan pengembangan dakwah sebagai ilmu dan menjadi rujukan pelaksanaan dakwah Islam.[12]

C. Urgensi Sistem Dakwah menurut Amrullah Ahmad

Menurut Amrullah Ahmad, tanpa sistem dakwah kita tidak bisa menganalisis interaksi antar komponen dakwah secara komprehendif. Sehingga tidak sesuai denga tujuan yang ditetapkan, misalnya orang mendefinisikan dakwah hanya sebagai tabligh itu wajar untuk kita, tapi kalau dalam dakwah tabligh hanya salah satu bagian dari dakwah.

Dalam mengembangkan dakwah sebagai ilmu terasa sangat tidak mungkin tanpa dibarengi dengan adanya penemuan dan pengembangan kerangka teori dakwah. Tanpa teori dakwah maka apa yang disebut dengan ilmu dakwah tidak lebih dari sekedar kumpulan pernyataan normatif tanpa memiliki kadar analisis atas fakta dakwah atau sebaliknya, hanya merupakan kumpulan pengetahuan atas fakta sehingga mandul untuk memandu pelaksanaan dakwah dalam menghadapi masalah yang kompleks.

Secara akademik dengan adanya teori dakwah, maka dapat dilakukan generalisasi atas fakta-fakta dakwah, memandu analisis dan klasifikasi fakwa dakwah, memahami hubungan antar variabel dakwah, menaksir kondisi dan masalah dakwah. Baru seiring dengan perubahan sosial di masa depan serta menghubungkan pengetahuan dakwah masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Dengan ditemuukannnya teori-teori dakwah yang telah menyebabkan keberhasilan dakwah masa lalu (dengan penelitian reflektif– penafsiran maudhu’i) sejarah dakwah (tarikh dakwah) dapat diuji kembali relevansi teori dengan fakta dakwah yang ada pada saat sekarang (dengan metode riset dakwah partisipatif) dan kemungkinan yang akan terjadi di masa depan (dengan metode riset kecenderungan gerakan dakwah).[13]

Masalah-masalah yang muncul dari lingkungan dimana dakwah diselenggarakan dan masukan-masukan ini diproses sedemikian rupa di dalam konversi yaitu untuk mengetahui out put dakwah.[14] Konversi merupakan unsur di dalam subsistem dakwah, sistem konversi menetukan:

1. Tujuan sistem Dakwah

Berdasarkan uraian yang terdahulu, maka tujuan sistem dakwah Islam adalah mewujudkan pribadi Muslim, keluarga Muslim, jama'ah Muslim, masyarakat yang berkualitas khaira ummah dan daulah thayyibah yang menerapkan syari'ah sehingga tercapailah falah dan hasanah di dunia dan di akhirat.

2. Fungsi Sistem Dakwah Islam

Fungsi sistem dakwah terdiri dari 6 (enam) fungsi terdiri dari : tabligh (menyampaikan), qiyadah (kepemimpinan), ta'dib, hijrah, amar ma'ruf nahi mungkar dan jihad (qital fî sabilillah).[15]

a) Fungsi Tabligh

Setiap Nabi dan Rasul Allah berkewajiban menyampaikan kebenaran agama (risalah) yang dibawa kepada umat dan kaumnya. Tugas dan kewajiban menyampaikan kebenaran itu disebut tablig (tabligh). Secara harfiah, kata tabligh, iblagh atau balagh, berarti ishal, menyampaikan sesuatu kepada pihak lain. Balagh dapat pula berarti sesuatu (materi atau pesan) yang disampaikan juru penerangan (muballigh) baik dari al-Qur’an dan al-sunah maupun dari dirinya sendiri. Tabligh pertama kali ditugaskan oleh Allah kepada Rasul Allah sebagaimana tertera pada ayat berikut :

Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS al-Maidah : 67).

Tabligh dalam pengertian menyampaikan Al-Qur’an atau sistem Islam kepada masyarakat mad'u diwajibakan Allah sebagai awal setiap proses dalam tahapan dakwah. Sebelum jama'ah terbentuk disyaratkan adanya tabligh kemudian ditindaklanjuti dengan ta'dib (pembinaan) agar dapat diwujudkan keluarga Muslim dan jama'ah. Oleh karena begitu pentingnya tabligh dalam Islam sampai terjadi pandangan bahwa dakwah identik dengan tabligh, padahal sebenarnya adalah bagian dari dakwah. Tabligh dapat dijalankan secara lisan maupun secara tertulis dan tayangan media audio-visual, maupun dengan media konvensional.


b) Fungsi Qiyadah (Kepemimpinan)

Dakwah Islam hakikatnya menyampaikan dan mewujudkan sistem Islam kepada masyarakat mad'u. Ketika dakwah mulai berjalan dengan tabligh pasti akan ada tanggapan dari mad'u. Apabila mad'u ada yang menerima seruan maka penerima dakwah ini akan terus mengikuti arahan hidup menurut sistem Islam dibawah bimbingan da’i atau jama’ah dakwah melaui ta'dib. Pada saat itu, terjadi hubungan ketaatan antara ummat ijabah dengan da’i atas dasar akidah tauhid. Dengan terjadinya hubungan ketaatan berarti ia telah menerima kepemimpinan (qiyadah) dalam satu jama'ah. Dalam kerangka yang demikian, maka sistem dakwah menjalankan fungsi qiyadah harakah bagi ummat ijabah berhadapan dengan sistem thaghut berikut kepemimpinannya. Kepemipinan dakwah menjalankan fungsi mengarahkan dan menggerakan, mengambil keputusan, menyelesaikan berbagai masalah dan perselisihan, menegakkan keadilan, menjadi teladan hidup, memerintah dan membuat kesepakatan perdamaian dan penerapan peraturan.[16]

c) Fungsi Ta'dib

Hans Wehr dalam buku kamusnya menjelaskan ta'dib diartikan education, discipline, punishment, disciplinary punishment. Muaddib berarti educator, teacher in Koranic school. Kata ini terkait dengan adab yang diartikan culture….refinement, good manners…humanity; adabi yang berarti moral, ethic (al)/al-falsafah al-adabiyah berarti falsafah ethics/moral science;.. adiib berarti cultured, educated, refined, well-mannered, urbane. F. Gabrieli menulis bahwa perkataan adab sebagaimana dipakai pada abad ke-1 H memiliki makna-makna intelektual, etika, dan sosial. Kemudian, perkataan ini menjadi istilah yang berarti sejumlah i1mu pengetahuan yang menjadikan seseorang itu manusia berperadaban dan "tercerahkan" (urbane). Pada masa Al-Hariri abad ke-10 M, makna perkataan adab dikhususkan pada disiplin ilmu pengetahuan tertentu, yaitu adabiyyat atau kesusastraan. Dalam konsep ta'dib terkandung makna bimbingan yang meliputi aspek spiritual dan material dari manusia baik dalam akhlak, ilmu pengetahuan maupun ketrampilan sebagai faktor pembentuk manusia yang baik.

Ta'dib dengan demikian adalah istilah lain untuk menyebut pendidikan yang berkonsentrasi pada aspek bimbingan disamping tarbiyah dan ta'lim. Pemikir yang mengenalkan kembali istilah ta'dib untuk pendidikan pada akhir abad ke XX adalah Al-Attas. Ia berpijak dari mendefinisikan ulang bahwa orang terpelajar adalah orang baik. "Baik" menurutnya adalah adab dalam pengertian yang menyeluruh, "yang meliputi kehidupan spiritual dan material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya". Selanjutnya Adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasanya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hierarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual, dan spiritualnya. Berpijak dari konsep manusia baik, manusia terpelajar dan adab maka Al-Atas mendefinisikan pendidikan sebagai ta'dib yakni : pengenalan dan pengakuan-yang ditanam secara progresif dalam diri manusia mengenai tempat yang sebenarnya dari segala sesuatu dalam susunan penciptaan, yang membimbing seseorang pada pengenalan dan pengakuan terhadap keberadaan Tuhan dalam tatanan wujud dan eksistensi. Pandangan ini sejalan dengan kesimpulan Ira M. Lapidus ketika memberikan kesimpulan atas kajian pemikiran Ibnu Maskaweh dalam Tahdzib al-Akhlaq bahwa satu istilah yang dipakai dalam Tahdzib untuk pembentukan katakter manusia adalah ta'dib dan hasilnya, pencapaian karakter yang baik adalah adab".[17]

Dalam hal ini ta'dib merupakan kelanjutan fungsi tabligh dalam dakwah yang dilaksanakan. Oleh karena itu maka ta'dib sebenarnya bagian dari tugas dakwah dan merupakan salah satu fungsi dakwah. Dalam perspektif sistem dakwah, ta'dib merupakan proses intensifikasi tabligh dalam penghayatan dan pendalaman Islam.

d) Fungsi Hijrah

Kata al-Hijrah adalah lawan kata dari kata, al-Washol (sampai/tersambung). Ha-ja-ra-hu, yah-ju-ru-hu, hij-ran, dan hij, ra, nan yang artinya memutuskannya, mereka berdua yah­ta-ji-ran atau ya-ta-ha-ja-ran yaitu saling me­ninggalkan. Bentuk isim-nya adalah al-hij­rah.

Kata Al-hij-ru atau al-hij-ran: seseorang yang meninggalkan yang lainnya, baik secara fisik, perkataan, bahkan hati. Hal ini mendasarkan pada Firman Allah SWT: " ... dan pisahkanlah mereka (wanita) ditempat tidur mereka .... " (an-Nisa: 34) Kata ini sebagai kiasan tidak adanya kedekatan. " ... sesungguhnya kaum­ku menjadikan Al-Qur 'an ini suatu yang tidak diacuhkan". (aI-Furqan: 30). Yang dimaksud dengan al-hij-ru dalam ayat ini adalah meninggalkan dengan hati atau meninggalkan dengan hati dan lisan. "Dan bersabarlah ter­hadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah merekadengan cara yang baik." (al-Muzzammil: 10) Ayat ini bisa me­ngandung tiga makna, dengan tambahan menyeru kepada jalan yang baik jika membuat mereka diam atau berkata lebih baik. Firman Allah SWT., "dan perbuatan dosa (menyembah berhala) jauhilah." (al-Mud­datsir: 5) Motivasi untuk meninggalkan semua perbuatan yang terkait dengan menyembah berhala.

Sedangkan pengertian kata ha-ja-ra dalam Al-Qur’an memiliki empat makna, yaitu, (1) perkataan keji/celaan, "Dengan menyombong­kan diri terhadap AI-Qur’ân itu dan meng­ucapkan perkataan-perkataan keji ter­hadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari." (aI-Mu'minun: 67), yaitu mereka berkata keji terhadap Muham­mad Saw ., "Berkatalah Rasul, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku men­jadikan AI-Qur 'an ini suatu yang tidak diacuhkan.'" (al-Furqan: 30) (2) Berpindah dari suatu negeri ke negeri yang lain mencari keselamatan agama sebagai manifestasi taat kepada Allah SWT. Firman Allah SWT, "Maka Luth membenar­kan kenabiannya dan berkatalah Ibrahim, 'Sesungguhnya aku akan pindah ke (tem­pat yang diperintahkan) Tuhanku (kepada­ku) sesungguhnya Dialah yang Maha­perkasa lagi Mahabijaksana." (al-Anka­buut: 26), yaitu mereka berpindah ke Palestina sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab tafsir. "Barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak .... " (an­Nisa': 100) (3) Berpisah ranjang dengan pasangan Firman Allah SWT., " ... dan pisahkanlah mereka (wanita) di tempat tidur mereka .... " (an-Nisa': 34) (4) Menyendiri dan ber-uzlah " ... dan jauhilah mereka dengan cara yang baik."(al-Muz­zammil: 10), yaitu jauhilah mereka de­ngan cara yang baik. Menjauhi dengan cara yang baik yaitu menjauhi tanpa me­nimbulkan konflik.

Rasulullah bersabda : "Seorang Muhajir adalah siapa saja yang meninggalkan segala yang dilarang oleh Allah .. "

Berdasarkan hal-hal diatas, maka pengertian dasar dari hijrah adalah meninggalkan segala apa yang dilarang Allah baik keyakinan, pola pikir, sikap maupun perbuatan (amal) dan atau meninggalkan dâr kufr menuju dâr al Islam.

Makna khusus hijrah secara syar'i adalah hijrah yang dilaku­kan Rasulullah. bersama para sahabat­nya dari kota Mekah menuju Madinah. Dilandasi oleh hadits riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas r.a., Nabi Saw bersabda : "Tidak ada hijrah setelah futuh Mekah akan tetapi hijrah dengan jihad dan niat. Apabila kalian dituntut untuk pergi, pergilah kalian." [18]

Dengan demikian hijrah secara lafdzi, bagi Rasul Allah SWT terputus setelah futuh Mekah tetapi hijrah secara maknawi dan lafdzi bagi ummat Islam tidak pernah terputus selagi masih ada negeri orang kafir.Hijrah tetap ada selagi dârul kufr ada di dunia ini, hahkan hijrah dari dârul kufr itu hukumnya wajib hagi setiap muslim yang tidak dapat mengeks­presikan keIslamannya secara leluasa dan jalan dakwah Islam perlu diamankan sehingga kalau di dunia sudah tidak ada lagi dârul kufr, hilanglah kewajihan hijrah.[19]

Hijrah merupakan salah satu bagian tugas dakwah dan merupakan bagian Sunnah Allah dalam dakwah sebab rintangan, halangan dakwah dan keharusan menciptakan situasi kondusif akan terus berlangsung. Oleh karena itu hijrah merupakan salah satu fungsi dakwah. Dalam perspektif sistem dakwah, hijrah merupakan mekanisme penyelamatan sistem dari tekanan struktural yang mengancam entropi sistem, sehingga dakwah tetap berkelanjutan dan sebagai pengolah balikan negatif yang berasal dari keluaran dakwah melalui lingkungan.

e) Fungsi Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar

Amar ma'ruf merupakan kewajiban kaum Muslim baik sebagai individu maupun umat, sekaligus menjadi karakter yang menonjol yang membedakan masyarakat Islam dengan masyarakat lain. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap kebaikan dan petunjuk Allah, merupakan masyarakat yang selalu bekerjasama dan tolong menolong dalam membangun kebaikan masyarakat dan memerangi kejahatan.

Dalam al-Qur’an, secara jelas posisi amar ma'ruf dan nahi munkar yang dilandasi iman merupakan karakter ummat terbaik (khair ummah): " Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali-Imran:110)

Ayat ini menjelaskan bahwa karakter masyarakat yang berkualitas khaira ummah adalah masyarakat yang beriman yang melaksanakan amar ma'ruf (menegakkan sistem Islam) dan mencegah kemungkaran (memerangi kejahatan, kedhaliman atau ketidakadilan) yang berakar pada sistem thaghut. Masyarakat yang beriman inilah yang dijamin Allah akan memperoleh barakah yang melimpah.

Sedangkan nahi munkar bisa dilakukan secara bertahap sesuai dengan kadar kemampuan da’i. Nabi Muhammad Saw bersabda :

Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ia harus mengubahnya dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka ia harus mengubahnya dengan hatinya, yang demekian adalah selemah-lemah iaman.

Apabila nahi munkar tidak dilaksanakan maka akan memperoleh kutukan Allah : Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (QS. al-Maidah : 78-79)

Dakwah Islam dalam mewujudkan Islam dalam semua tatanan hidup ummat manusia dimungkinkan apabila amar ma'ruf dan nahi munkar dijalankan sebagai bagian integral fungsi dakwah Islam. Hal ini karena dalam mewujudkan masyarakat yang berkualitas khaira ummah mesti ada kekuatan yang memerintahkan masyarakat untuk menjalankan yang ma'ruf dan mencegah yang munkar. Dua dimensi kegiatan ini menjadi prasyarat tercapainya tujuan dakwah Islam. Dalam perspektif yang demikian maka dakwah Islam tidak bisa dipisahkan dengan politik hanya bisa dibedakan. Dalam perspektif sistem, amar ma'ruf nahi munkar merupakan dimensi kekuasaan dalam dakwah yang menjadi penopang kekuatan dakwah dalam memecahkan masalah secara berkelanjutan sebagai pengolah balikan negatif dan positif sehingga sistem dakwah tetap stabil dan terintegrasi.

f) Fungsi Jihad (Qital fî Sabilillah)

Kata jihad berasal dari kata al-juhd, berarti kemampuan (al-taqqah), kesanggupan (al-wus’), kesulitan (al-masyaqqah) atau yang mendekatinya. Jihad adalah mencurahkan segala tenaga dan kekuatan untuk menegakkan Islam dalam rangka memperoleh ridha Allah SWT. Jihad berarti melawan musuh, merupakan suatu usaha yang sungguh-sungguh, mengerahkan segala kemampuan dan kesanggupan yang dimiliki baik dengan kata-kata maupun perbuatan. Dari pengertian ini, jihad dipahami sebagai usaha yang sungguh-sungguh, dengan mengeluarkan segala kemampuan yang dimiliki di waktu perang, atau waktu damai, dengan lisan atau apa saja demi meninggikan kalimat Allah dan memuliakan agama-Nya. Dakwah dengan kata-kata (tabligh) dengan demikian termasuk bagian dari jihad.

Secara hakiki jihad adalah menundukan hawa nafsu (keinginan subyektif) untuk taat kepada Allah. Taat dalam arti mengikuti perintah dan larangan Allah termasuk perintah untuk melaksanakan qital. Pengertian haikiki ini mendasarkan pada sabda Nabi Muhammad Saw : "Seorang mujahid adalah orang yang ber­jihad menundukkan dirinya untuk taat ke­pada Allah. Dan seorang Muhajir adalah orang yang berhijrah meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT .. "

Dalam ayat lain, Allah SWT. me­nyebutkan derajat orang-orang yang ber­hijrah dan berjihad serta menyematkan sifat bagi mereka yaitu kemenangan. Allah ber­firman, "Orang-orang yang beriman dan ber­hijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat ,kemenangan. " (at-Taubah: 20).[20]

Menurut Sayyid Quthub, yang dikutip dalam disertasi Amrullah Ahmad, keharusan jihad (qital) dalam dakwah dikaitkan dengan kebebasan dakwah. Kebebasan dakwah ini menimbulkan tiga konsekuwensi. Pertama, setiap orang yang menerima Islam dengan dakwah itu, maka ia harus dapat memeluk dan menjalankan Islam dengan bebas dan merdeka. Kedua, orang yang menolak Islam, setelah sampai kepadanya dakwah, maka pilihan itu sepenuhnya menjadi haknya. Namun, ia sama sekali tidak dibenarkan karena kebebasan dakwah tadi menghalang-halangi jalannya dakwah. Sebaliknya, ia harus tetap memberi dan membuka jalan bagi kebebasan dan keamanan dakwah. Ketiga, kaum Muslim sendiri berkewajiban melawan dengan kekuatan fisik atau kekuatan bersenjata, setiap orang yang mengganggu dan menghalang-halangi jalan dakwah baik dengan penyiksaan maupun dengan fitnah.

Berdasarkan atas pertimbangan para ulama tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan : pertama, bahwa sistem dakwah mengandung fungsi jihad (qital) baik qital untuk melawan penghalang dakwah maupun karena mereka tidak mau menerima dakwah. Kedua, bahwa jihad (qital) bukan hanya bersifat defensif tetapi sekaligus ofensif terhadap lawan-lawan dakwah. Ketiga, jihad (qital) adalah penegak sistem dakwah dalam mewujudkan sistem Islam di muka bumi. Keempat, jihad (qital) adalah salah satu metode yang efektif untuk mewujudkan perdamaian. Dalam perspektif sistem dakwah, jihad (qital) adalah mekanisme pertahanan dan penjaga stabilitas sistem dakwah dalam mengolah balikan hambatan menjadi kekuatan dakwah serta menjadi penegak sistem dakwah.[21]

D. Subsistem Dalam Sistem Dakwah

Menurut Amrullah Ahmad, untuk menganalisa keadaan dakwah Islam yang permasalahannya semakin kompleks di tengah-tengah perubahan sosial, diperlukan suatu kerangka analisa makro untuk menjembatani kesenjangan antara pemikiran realitas dakwah dengan tujuan dakwah. Pendekatan ini berangkat dari anggapan dasar bahwa dakwah Islam merupakan suatu sistem usaha merealisasikan ajaran Islam pada semua dataran kenyataan kehidupan manusia. Dalam pendekatan ini digunakan teori umum sistem yang bersifat analitis, yaitu mengadakan konstruk intelektual yang tersusun dari aspek-aspek realitas dakwah Islam.[22] Pada umumnya sistem terdiri dari lima komponen dasar, komponen tersebut yaitu:

1. Subsistem masukan (input)

Subsistem (input) dapat berupa zat, energi, manusia dan informasi. Ia merupakan kekuatan yang menggerakan yang memberikan kepada sistem yang bersangkutan apa yang diperlukannya untuk beroperasi. Dalam konteks penelitian ini subsistem masukan memberikan daya beroperasinya sistem dakwah yang terdiri dari: masukan utama (raw input), masukan sarana (instrumental input) dan masukan lingkungan (environmental input).

Masukan utama (raw input) terdiri dari materi dakwah, manusia (sebagai da’i dan sasaran dakwah). Materi dakwah terdiri dari Al-Qur’an, As Sunnah dan hasil ijtihad. Masukan sarana (instrumental input) berupa metode, peta (informasi), dana dan fasilitas dakwah. Masukan lingkungan (environmental input) berupa masalah-masalah yang muncul dalam masyarakat yang berkaitan dan mempengaruhi dakwah yang memerlukan pemecahan dalam dakwah.

2. Subsistem proses (konversi)

Subsistem (konversi) yaitu aktivitas yang mentransformasikan masukan menjadi keluaran. Ia dapat berupa sebuah mesin, seorang individu, sebuah komputer, sebuah bahan kimia atau peralatan, atau tugas-tugas yang dilaksanakan oleh sekelompok orang anggota organisasi. Namun demikian, dalam beberapa situasi, transformasi tidak dapat diketahui secara detail karena transformasi bersifat kompleks. Dalam penelitian ini subsusbsistem proses (konversi) sistem dakwah terdiri dari : tujuan, qiyadah (kepemimpinan), tabligh, ta’dib, hijrah, amar ma’ruf nahi mukar dan jihad (qital). Subsubsistem ini merupakan perwujudan dari fungsi sistem dakwah sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Subsistem ini merupakan wilayah ikhtiari dakwah karena hasil yang diharapkan akan sangat ditentukan dari tindakan dakwah dalam melaksanakan proses transformasi ini.

3. Subsistem keluaran (output)

Subsistem (output) merupakan hasil pengoperasian proses-proses atau dengan perkataan lain tujuan adanya sistem yang bersangkutan. Semua proses transformasi menyebabkan terbentuknya lebih dari satu macam tipe keluaran. Terkait dengan penelitian ini maka keluaran sistem dakwah mencakup terwujudnya Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, jama'ah, masyarakat dan negara (daulah) sehingga Islam menjadi rahmat seluruh alam. Keluaran akan memberikan pengaruh dan perubahan lingkungan. Hasil akhir sistem dakwah Islam berdimensi ikhtiari dan hidayah. Oleh karena itu keluaran merupakan hasil subsistem proses dalam mentransformasikan Islam yang dibarengi dengan diterminasi akhir dari Allah yang disebut hidayah.

4. Subsistem balikan (feedback)

Subsistem (feedback) adalah merupakan keluaran yang kembali menjadi masukan. Hal ini karena secara teoritis, sebuah sistem berjalan menurut siklus dan berdaur ulang (recycling). Proses datangnya kembali segala perolehan itu akan langsung berpengaruh terhadap sistemnya sendiri maupun melalui lingkungan terlebih dahulu dan demikian seterusnya. Balikan terdiri dari dua: balikan positif dan negatif. Balikan positif akan memperbesar ketahanan sistem. Balikan negatif adalah balikan yang melawan arus, namun hal ini diperlukan sebagai wahana pencegah dini terhadap adanya penyimpangan-penyimpangan, bahan dan hal-hal yang bertentangan dengan tujuan. Sebuah sistem dapat bertahan justeru jika balikan negatifnya tetap berfungsi. Dengan balikan ini dapat tercipta mekanisme swakelolanya sendiri perwujudan ini adalah adanya monitoring dan evaluasi sebagai tindak koreksi atas penyimpangan. Dalam penelitian Amrullah Ahmad balikan sistem dakwah terdiri dari : balikan positif (informasi dan sikap mad'u berupa dukungan), balikan negatif (informasi dan sikap mad'u berupa hambatan) dan sikap netral mad'u.

5. Lingkungan dakwah (environment)

Lingkungan (environment) dakwah adalah masyarakat yang merupakan medan dakwah dalam kategori masyarakat awal dakwah Nabi Muhammad SAW terdiri dari orang-orang yang hanif, kafirun, musyrikun dan ahl Kitab.

Pada setiap subsistem dilihat secara mikro bisa disebut sebagai sistem. Misalnya subsistem konversi secara mikro dapat disebut sistem konversi dan subsub sistem tabligh menjadi salah satu sub sistemnya dan seterusnya.[23]

Subsistem diatas seperti masukan, konversi, pengeluaran, fed back, environment (lingkungan), yang masing-masing ini punya peran masing-masing terhadap pergerakannya suatu system. Masukan, konversi dan lain-lain. Contoh: rangkaian mesin motor yang (out putnya) adalah tenaga. Pengeluaran dari sistem dakwah seperti Abu Bakar CS, Keluarga Ali, Jama’ah Ansor, Jama’ah Muhajirin, itulah contoh terkait dengan dakwah Islam.[24]

E. Aplikasi Sistem Dakwah

Kajian pertama dilingkungan perguruan tinggi mengenai dakwah Islam dimulai dari al-Azhar University pada 1942. kemudian di Indonesia Fakultas Dakwah didirikan pada tahun 1971 di lingkungan IAIN Wali Songo, Semarang, yang kemudian di ikuti oleh IAIN seluruh Indonesia, adalah merupakan sebuah ungkapan akademis, betapa kegiatan dakwah Islam yang menjadi sebab efisien terbentuknya masyarakat Islam ternyata memerlukan landasan akademik yang kokoh di perguruan tinggi. Hal ini menandakan bahwa kegiatan praxis ternyata memerlukan landasan-landasan epistemik dan metodologi serta idiologis. Dengan adanya landasan yang kokoh secara keilmuan, maka pengembangan dakwah pada tingakatan praxis akan mempercepat pencapaian tujuan dakwah terwujudnya masyarakat yang berkualitas khaera ummah dan Negara yang berkualitas tayyibah warobbun ghafuur. Oleh karena itu, kajian mengenai peran fakultas dakwah dalam pemberdayaan masyarakat Islam sejatinya merupakan pertanyaan yang mudah dijawab. Hal ini karena sudah sangat jelas bahwa gerakan dakwah Islam memerlukan dukungan dan pengembangan epistemik, teoritik, dan metodologi dakwah agar umat Islam sebagai subyek dan obyek dakwah dapat mengembangkan diri menuju kesempurnaan hidup sesuai dengan cita-cita Islam.[25]

Menurut Amrullah Ahmad, Aplikasi dan peran dakwah yaitu di dalam organisasi-organisasi dakwah, misal sebagai aktifitas jurusan dakwah. Dakwah di dalam dunia akademik sebagai ilmu, seperti ada penyiaran Islam dan konseling Islam, sistem dakwah. Sistem dakwah dulu ada di perguruan tinggi di fakultas jurusan dakwah, diberikan kepada mahasiswa supaya mahasiswa berfikir dalam pengembangan dakwah.[26]



[1] Amrullah Ahmad, (Ed)., Dakwah Islam … hal: 12-14.

[2] Amrullah, Ahmad, “Konstruksi Keilmuan Dakwah … hal. 15.

[3] Wawancara dengan Amrullah Ahmad…,

[4] Amrullah, Ahmad, “Konstruksi Keilmuan Dakwah, Makalah,… hal. 15.

[5] Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Karya Insan Indonesia), 1989. Surat Arraad: 15.

[6] Amrullah Ahmad, Format Strategi Dakwah yang Antisipatif di Tengah Gelombang Kapitalisme Global, Materi Kajian Iktikaf Ramadhan Padepokan Budi Mulia 09 Oktober 2007 di Jogjakarta. hal. 3.

[7] Amrullah Ahmad, Sistem Dakwah Islam “Analisa Terhadap Dakwah Nabi Muhammad Saw, Disertasi tidak dipublikasikan, Jakarta: 2008 hal. 569.

[8] Amrullah Ahmad, (Ed)., Dakwah Islam dan Perubahan Sosial … hal: 2.

[9] Wawancara dengan Amrullah Ahmad, Selasa 01 Juni 2010 di Jl. Proklamasi Kantor MUI Pusat, Menteng, Jakarta Pusat.

[10] Wawancara dengan Amrullah Ahmad, …

[11] Amarullah Ahmad, Sistem Dakwah Islam…, hal.17-21.

[12] Amarullah Ahmad, Sistem Dakwah Islam…, hal. 128-129.

[13] Amrullah, Ahmad, “Konstruksi Keilmuan Dakwah … hal. 48.

[14] Wawancara dengan Amrullah Ahmad, …

[15] Amarullah Ahmad, Sistem Dakwah Islam…, hal. 53.

[16] Amarullah Ahmad, Sistem Dakwah Islam…, hal. 55.

[17] Amrullah Ahmad, Sistem dakwah Islam… hal. 57.

[18] Amrullah Ahmad, Sistem dakwah Islam… hal. 59-61.

[19] Amrullah Ahmad, Sistem dakwah Islam… hal. 63.

[20] Amrullah Ahmad, Sistem dakwah Islam… hal. 63-66.

[21] Amrullah Ahmad, Sistem dakwah Islam… hal. 68.

[22] Amrullah Ahmad, (Ed)., Dakwah Islam dan Perubahan Sosial …, hal. 13-14.

[23] Amarullah Ahmad, Sistem Dakwah Islam…, hal. 36-38.

[24] Wawancara dengan Amrullah Ahmad…

[25] Amrullah Ahmad, Peran Fakultas Dakwah dalam Pemberdayaan Masyarakat Islam, Makalah tidak dipublikasikan, Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan Bandar lampung. 2 oktober 2005. hal. 1.

[26] Wawancara dengan Amrullah Ahmad…